“LARANGAN TASH’IR, IKHTIKAR, DAN
BAI’A AN NAJASYI”
Tugas ini disusun sebagai Tugas
Ujian Tengah Semester (UTS) Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Dosen Pengampu: Afit Abrori, M.E.I
Disusun oleh:
1.
Asih
Afiyanti 14117834
2.
Desta
Amelia 14117974
3.
Kristina 14118554
4.
Nurul
Hidayah 14119014
PROGRAM STUDI EKONOMI
SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH DAN
EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI
( STAIN ) JURAI SIWO METRO
TA.
2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islah sebagai tugas Ujian Tengah Semester (UTS) ini tepat
pada waktunya.
Makalah
ini berisikan tentang Larangan Tash’ir (penetapan harga oleh pemerintah),
Larangan Ikhtikar (monopoli), Larangan Bai’a An Najasyi (rakayasa demand). Yang
disertai dengan asbab an nuzul (Ayat Al Qur’an) dan asbab al wurud ( Al Hadis).
Kami
menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir
kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan tugas ini dari awal sampai akhir.
Metro,
12 Desember 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................
KATA PENGANTAR...................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
A. Latar
Belakang......................................................................................
B. Rumusan
Masalah.................................................................................
C. Tujuan
Penulisan...................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................
A. Pertian Ikhtikar, Tash’ir, dan Bai’a An Najasyi...................................
B. Dalil
dan Dasar Hukum dilarangnya Ikhtikar......................................
C. Dalil
dan Dasar Hukum dilarangnya Tash’ir........................................
D. Dalil
dan Dasar Hukum dilarangnya Bai’a An Najasyi........................
E. Asbab an Nuzul ayat-ayat yang berhubungan dengan Tash’ir, Ikhtikar
dan
Bai’a An Najasyi...........................................................................
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Syari’at Islam bersumber kepada
al-Qur’an dan al-Hadits. Dimana kedua sumber ini menjadi rujukan dalam setiap
istinbat hukum untuk menjawab sejumlah persoalan yang muncul dikemudian hari,
pada kondisi dan situasi tertentu, lebih dari itu kedua sumber ajaran Islam ini
menjadi pandangan hidup (way of life) bagi umat muslim di saentero jagat raya
dalam mengatasi peliknya problematik yang mereka hadapi, bahkan syariat Islam
mengikat aktifitas umat manusia di dunia, dengan menjadikan al-Qur’an dan al
Hadits menjadi Undang-undang dasar dalam rangka untuk mencapai kesejahteraan
hidup dunia dan akhirat.
Ekonomi Islam memandang bahwa pasar, negara,
dan individu berada dalam keseimbangan (iqtishad),
tidak boleh ada sub-ordinat, sehingga
salah satunya menjadi dominan dari yang lain.
Pasar dijamin kebebasannya dalam Islam. Pasar bebas menentukan cara-cara
produksi dan harga, tidak boleh ada gangguan yang mengakibatkan rusaknya
keseimbangan pasar. Dalam Konsep
Ekonomi Islam adalah, Penentuan harga dilakukan oleh kekuatan-kekuatan pasar,
yaitu kekuatan permintaan dan penawaran. Pertemuan antara permintaan dan
penawaran tersebut harus terjadi rela sama rela, sehingga tidak ada po ihak
yang merasa terpaksa, tertipu ataupun adanya kekeliruan dalam melakukan
transaksi barang tertentu pada tingkat harga tertentu sehinnga tak ada pihak
yang merasa dirugikan. Dengan demikian, Islam menjamin pasar bebas dimana para
pembeli dan penjual bersaing satu sama lain dengan arus informasi yang berjalan
lancar dalam kerangka keadilan. Namun keadaan pasar yang ideal menurut prinsip
islam tersebut, tidaklah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dilapangan,
karena seringkali adanya gangguan yang terjaadi terhadap mekanisme pasar ini.
Dan gangguan-gangguan inilah yang disebut dengan Distorsi Pasar.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
dalil dari Tash’ir ?
2.
Apa
dalil dari Ikhtikar ?
3.
Apa
dalil dari Bai’a An Najasyi ?
4.
Mengapa
Tash’ir itu dilarang ?
5.
Mengapa
Ikhtikar itu dilarang ?
6.
Mengapa
Bai’a An Najasyi itu dilarang ?
7.
Bagaimana
Asbab an Nuzul dari ayat-ayat yang berhubungan dengan Tash’ir, Ikhtikar dan
Bai’a An Najasyi ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
Mengetahui dalil dari Tash’ir.
2.
Untuk
Mengetahui dalil dari Ikhtikar.
3.
Untuk
Mengetahui dalil dari Bai’a An Najasyi.
4.
Untuk
Mengetahui Larangan Tash’ir.
5.
Untuk
Mengetahui Larangan Ikhtikar.
6.
Untuk
Mengetahui Larangan Bai’a An Najasyi.
7.
Untuk
Mengetahui Asbab an Nuzul dari ayat-ayat yang berhubungan dengan Tash’ir,
Ikhtikar dan Bai’a An Najasyi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ikhtikar, Tash’ir, dan Bai’a An Najasyi.
Dalam hal ini
banyak sekali, pengertian atau definisi mengenai Tash’ir, Ikhtikar, dan Bai’a
An Najasyi yang disampaikan oleh para ahli dan Ulama Muslim.
1.
Ikhtikar
Ikhtikar (الاحتكار
) artinya zalim (aniaya) dan merusak pergaulan (اساء
المعاشرة ), upaya penimbunan barang dagangan untuk menunggu melonjaknya
harga barang penimbunan barang adalah salah satu perkara dalam perdagangan yang
diharamkan oleh agama karena bisa membawa madhorot.
Monopoli atau ihtikar artinya
menimbun barang agar yang beredar di masyarakat berkurang, lalu harganya naik.
Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat dirugikan.[1]
Menurut Adimarwan "Monopoli secara harfiah berarti di pasar hanya ada satu
penjual.
Para ulama
mengemukakan arti atau definisi ihtikar (menimbun) berbeda-beda sepertinya
halnya yang diterangkan dibawah ini Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani
mendefinisikan : Penimbunan atau penahan barang dagangan dari peredarannya.
Imam Al-Ghazali
mendefinisikan :Penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu
melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga melonjak.
Ulama madzhab
maliki mendefinisikan : Penyimpanan barang oleh produsen baik makanan, pakaian
dan segala barang yang merusak pasar.
Ulama Malikiyah
mendefinisikan monopoli (ihtikar) : Penyimpanan barang oleh produsen: baik makanan,
pakaian, dan barang yang boleh merusak pasar.
2.
Tash’ir
Tas’ir dalam
bahasa Arab berasal dari sa’ara (fi’il madhi), yusa’iru (fi’il mudhari’),
tas’iiran (mashdar). Artinya menurut pengertian bahasa Arab adalah kesepakatan
atas suatu harga (al-ittifaq ‘ala si’rin).
Adapun menurut
pengertian syariah, terdapat beberapa pengertian. Menurut Imam Ibnu Irfah
(ulama Malikiyah) :
هو تحديد
حاكم السوق لبائع المأكول فيه قدراً للمبيع بدرهم معلوم
“Tas’ir
adalah penetapan harga tertentu untuk barang dagangan yang dilakukan penguasa
kepada penjual makanan di pasar dengan sejumlah dirham tertentu.” (Muhammad bin
Qasim Al-Anshari, Syarah Hudud Ibnu Irfah, II/35).
Menurut
Syaikh Zakariya Al-Anshari (ulama Syafi’iyah) :
أن يأمر
الوالى السوقة أن لايبيعوا أمتعتهم إلا بسعر كذا
“Tas’ir
adalah perintah wali (penguasa) kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual
barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu.” (Zakariya Al-Anshari,
Asnal Mathalib Syarah Raudhah Ath-Thalib, II/38).
Menurut
Imam Al-Bahuti (ulama Hanabilah) :
التسعير
أن يسعر الإمام أو نائبه على الناس سعراً ويجبرهم على التبايع به
“Tas’ir
adalah penetapan suatu harga oleh Imam (Khalifah) atau wakilnya atas masyarakat
dan Imam memaksa mereka untuk berjual beli pada harga itu.” (Al-Bahuti, Syarah
Muntaha Al-Iradat, II/26).
Menurut
Imam Syaukani :
هو أن يأمر السلطان أو نوابه أو كل من ولى من
أمور المسلمين أمراً أهل السوق ألا يبيعوا أمتعتهم إلا بسعر كذا فينمع من الزيادة
عليه أو النقصان لمصلحة
“Tas’ir
adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau siapa saja yang mengatur
urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang
dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu dan dilarang ada tambahan atau
pengurangan dari harga itu karena alasan maslahat.” (Imam Syaukani, Nailul
Authar, V/335).
Menurut
Imam Taqiyuddin An-Nabhani :
هو أن
يأمر السلطان أو نوابه أو كل من ولى من أمور المسلمين أمراً أهل السوق ألا يبيعوا
السلع إلا بسعر كذا فينمعوا من الزيادة عليه حتى لا يغلوا الأسعار أو النقصان عنه
حتى لا يضاربوا غيرهم، أي ينمعون من الزيادة أوالنقص عن السعر لمصلحة الناس
“Tas’ir
adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau siapa saja yang mengatur
urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang
dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu, dan mereka dilarang menambah
atas harga itu agar mereka tidak melonjakkan harga, atau mengurangi dari harga
itu agar mereka tidak merugikan lainnya. Artinya, mereka dilarang menambah atau
mengurangi dari harga itu demi kemaslahatan masyakarat.”
Dari
berbagai definisi tersebut, sebenarnya maknanya hampir sama. Kesamaannya ialah
definisi-definisi tersebut selalu menyebut tiga unsur yang sama. Pertama,
penguasa sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan. Kedua, pelaku pasar sebagai
pihak yang menjadi sasaran kebijakan. Ketiga, penetapan harga tertentu sebagai
substansi kebijakan.
Namun
kami memilih definisi Imam Taqiyuddin An-Nabhani, karena lebih komprehensif
(syumuliah). Sebenarnya definisi Imam An-Nabhani ini sama dengan definisi Imam
Syaukani. Hanya saja Imam An-Nabhani sedikit memberikan tambahan berupa uraian
makna “karena alasan maslahat” (li maslahatin) dalam definisi Imam
Syaukani. Imam An-Nabhani menguraikan bahwa alasan maslahat yang dimaksud
adalah bahwa tujuan kebijakan tas’ir adalah agar harga tidak melonjak atau
tidak merugikan masyarakat umum.
Dalam
hadis lain dikemukakan tentang ta’sir:
ان الله هو المسعر القا
بض البا سط الرازق وإني لأرجو أن القي الله وليس أحد منكم يطا لبني بمظلمة في دم و
ما ل
“Sesungguhnya Allah-lah dzat yang menetapkan harga, Yang Maha
Menyempitkan, Maha Melapangkan, dan Maha menberi rizki. Sesungguhnya aku
berharap bertemu Allah dalam keadaan tidak ada seorangpun diantara kamu
sekalian yang menuntutku mengenai kezaliman dalam hal darah dan harta.” (HR.
Abu Dawud)
Asbabul wurud:
Anas r.a meriwayatkan bahwa pada zaman Rasulullah SAW
di Madinah terjadi harga yang membumbung tinggi. Kemudian orang-orang berkata:
“wahai Rasulullah SAW, harga begitu mahal, maka tetapkannlah harga bagi kami.
Lalu Rasulullah SAW bersabda, seperti hadis diatas.”
Kesimpulan hadis: bahwa ta’sir hukumnya haram.[2]
3.
Bai’a
An Najasyi
Harga merupakan salah satu unsur jual beli yang
mendapatkan perhatian dalam islam. Untuk menjaga agar penjual dan pembeli
melakukan penawaran dengan bebas, dan agar harga barang yang ditetapkan
berdasarkan kemauan penjual dan pembeli, maka islam melarang semua tindakan
yang menyebabkan terjadinya permainan harga. Salah satu bentuk yang dilarang
adalah al-najasyi, yang merupakn suatu tindakan atau prilaku seserorang yang
melakukan manipulasi harga.
Dalam kondisi saat sekarang, bahkan ada orang
yang berprofesi sebagai an najasyi, yang kemudian mendapatkan komisi dari
pemilik barang yang dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi.
An najasyi menurut bahasa adalah larinya buruan
dan keluarnya buruan dari tempat untuk diburu. Sedangkan menurut istilah
najasyi adalah tambahan harga dalam komoditas yang diperjual belikan.
Pengertian lain, najasyi adalah penambahan harga barang yang sedang proses jual
beli, bukan untuk maksud membeli, tetapi agar calon pembeli yang sedang menawar
membeli dengan tawaran tinggi tersebut. Dapat juga berarti trik simulasi yaitu
seseorang berpura-pura menawar barang dagangan dengan harga yang tinggi dihadapan
calon pembeli, semata-mata untuk membangkitkan keinginan calon pembeli.
Dalam praktiknya an najasyi ini dapat saja
pelakunya bekerja sama dengan penjual, ada juga yang melakukan an najasyi tanpa
sepengetahuan penjual, atau atas dasar inisiatif najasyi itu sendiri. Misalnya,
seseorang mengatakan pada calon pembeli, yang sedang menawar bahwa ia membeli
barang yang sama dengan harga yang lebih tinggi, dengan tujuan agar pembeli
membayar dengan harga yang lebih tinggi, terlepas dari pelaku memang yang
membeli dengan harga yang di maksud atau tidak.
Banyak cara yang dilakukan oleh penjual untuk
dapat meyakinkan pembeli tentang harga barang yang sedang dalam proses jual
beli. Bahkan dalam realitas, ada penjual yang bersumpah bahwa harga tersebut
harga yang paling rendah. Denga an najasyi, seorang melakukan tindak penawaran
dengan tujuan untuk meyakinkan calon pembeli agar dapat membeli dengan harga
yang lebih tinggi. Pemberian harga yang lebih tinggi tersebut dilakukannya
bukan untuk membeli, tetapi agr calon pembeli merasa yakin bahwa calon pembeli
membeli dengan harga yang standar.
Najasyi juga dilakukan dengan cara,
seseorang menyatakan dengan calon pembeli (yang sedang melakukan tawar menawar
dengan penjual) bahwa ia telah membeli barang yang sama dengan harga yang lebih
tinggi dari tawarannya itu dengan tujuan calon pembeli membeli barang dengan
harga yang lebih tinggi dari harga barang yang seharusnya.
Menueut Imam Syafi’i an najasyi yaitu
memperlihatkan barang yang akan diprjualkan kepada calon pembeli, ada seseorang
yang melakukan penawaran yang lebih tinggi
namun, bukan untuk maksud membeli tetapi untuk meninggikan harga jual.[3]
B.
Dalil dan Dasar Hukum dilarangnya Ikhtikar, Tash’ir, dan Bai’a An
Najasyi.
Berikut akan diuraikan mengenai
sebab-sebab mengapa kegiatan Ikhtikar, Tash’ir, dan Bai’a An Najasyi dilarang
oleh Islam.
1.
Ikhtikar
Para ulama berbeda
pendapat tentang hukum ihtikar, dengan perincian sebagai berikut:
a. Haram secara mutlak (3) (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini
didasari oleh sabda Nabi SAW:
مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئ
Barangsiapa menimbun
maka dia telah berbuat dosa. (HR. Muslim 1605)
Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga
kriteria:
a) Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk
masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang
dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
b) Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan
kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya
dengan harga mahal.
c) Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan,
sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak
pedagang, tetatpi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak
merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun.
b. Makruh secara mutlak, Dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan
dengan ihtikar adalah terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai
peringatan bagi umatnya.
c. Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka
dibolehkan, dengan alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan
riwayat tersebut yang dhohirnya membolehkan ihtikar selain bahan makanan,
sebagaimana riwayat lengkapnya, ketika Nabi SAW bersabda:
عَنْ سَعِيدُ
بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
Barangsiapa menimbun
maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id ditanya, "Kenapa engkau lakukan
ihtikar?" Sa'id menjawab, "Sesungguhnya Ma'mar yang meriwayatkan
hadits ini telah melakukan ihtikar!' (HR. Muslim 1605)
Imam Ibnu Abdil Bar
mengatakan: "Kedua orang ini (Said bin Musayyab dan Ma'mar (perowi hadits)
hanya menyimpan minyak, karena keduanya memahami bahwa yang dilarang adalah
khusus bahan makanan ketika sangat dibutuhkan saja, dan tidak mungkin bagi
seorang sahabat mulia yang merowikan hadits dari Nabi SAW dan seorang tabi'in
[mulia] yang bernama Said bin Musayyab, setelah mereka meriwayatkan hadits
larangan ihtikar lalu mereka menyelisihinya (ini menunjukkan bahwa yang
dilarang hanyalah bahan makanan saja).
d. Haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah,
sedangkan tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini
lantaran Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga
apabila ada yang melakukan ihtikar salah satu barang kebutuhan manusia, maka
perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang
yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang
menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi perekonomian
manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.
e. Boleh ihtikar secara mutlak, Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang
memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat
tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil
dibolehkahnya ihtikar, seperti dalam hadits:
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَأَيْتُ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ
الطَّعَامَ مُجَازَفَةً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَنْهَوْنَ أَنْ يَبِيعُوهُ حَتَّى يُؤْوُوهُ إِلَى رِحَالِـهِمْ
Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: "Aku melihat orang-orang yang
membeli bahan makanan dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka
dilarang menjualnya kecuali harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka
terlebih dahulu." (HR. Bukhori 2131, dan Muslim 5/8)
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani berkata:
"Imam Bukhori sepertinya berdalil atas bolehnya menimbun/ihtikar
dengan (hadits ini), karena Nabi SAW memerintahkan pembeli bahan makanan supaya
mengangkutnya terlebih dahulu ke rumah-rumah mereka sebelum menjualnya kembali,
dan seandainya ihtikar itu dilarang, maka Rosulullah SAW tidak akan
memerintahkan hal itu." (Fathul Bari 4/439-440).(5)
Demikian pula pendapat
tentang waktu diharamkannya ihtikar. Ada ulama yang mengharamkan ihtikar setiap waktu secara mutlak, tanpa
membedakan masa paceklik dengan masa surplus pangan, berdasarkan sifat umum
larangan terhadap monopoli dari hadits yang sudah lalu. Ini adalah pendapat
golongan salaf.
2.
Tash’ir
Para
ulama berbeda pendapat mengenai hukum tas’ir menjadi 2 (dua) madzhab sebagai
berikut :
a.
Yang mengharamkan secara mutlak. Ini adalah
pendapat jumhur ulama dari ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah. Ini juga
pendapat ulama muta`akkhirin seperti Imam Syaukani dan Imam An-Nabhani. Namun
sebagian ulama Hanabilah ada yang mengharamkan secara mutlak seperti Ibnu
Qudamah, sementara ulama lainnya ada yang memberikan rincian (tafshil) seperti
Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim. Artinya, menurut Ibnu Taimiyah dan Imam
Ibnul Qayyim jika tas’ir mengandung kezhaliman, hukumnya haram. Jika untuk
menegakkan keadilan, hukumnya boleh bahkan wajib.
b. Yang
membolehkan, meski tidak membolehkan secara mutlak. Ini pendapat sebagian ulama
Hanafiyah dan Malikiyah. Sebagian ulama Hanafiyah membolehkan tas’ir jika para
pedagang melambungkan harga secara tidak wajar. Sebagian ulama Malikiyah
membolehkan tas’ir jika sebagian kecil pedagang di pasar sengaja menjual dengan
harga sangat murah, sedang umumnya pedagang memasang harga lebih mahal. Maka
tas’ir dibolehkan untuk menaikkan harga agar sesuai dengan harga umumnya
pedagang.
Pendapat
pertama, berdalil dengan hadits-hadits Nabi SAW, misalnya hadits Anas bin Malik
RA :
عن أنس رضى الله عنه قال: غلا السعر على عهد رسول
الله صلى الله عليه وسلم فقالوا : يارسول الله : سعر لنا ، فقال : إن الله هو
المسعر القابض الباسط الرازق ، وإنى لأرجو أن ألقى ربى وليس أحد منكم يطلبنى
بمظلمة فى دم ولا مال
Dari
Anas RA, dia berkata,”Harga melonjak pada masa Rasulullah SAW. Maka berkatalah
orang-orang,’Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga untuk kami.’ Maka bersabda
Nabi SAW,”Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Menetapkan Harga, Yang Memegang
Rizki, Yang Melapangkan Rizki, Yang Maha Pemberi Rizki. Dan sungguh akan
betul-betul berharap berjumpa dengan Tuhanku sementara tak ada seorang pun dari
kalian yang akan menuntutku karena suatu kezhaliman dalam urusan harta atau
nyawa.” (HR Abu Dawud, hadits no 3450).
Imam
Syaukani berkata,”Hadits ini dan yang semisalnya dijadikan dalil untuk
keharaman tas’ir dan bahwasanya tas’ir itu adalah suatu kezhaliman (mazhlimah).
Semakna
dengan pernyataan Imam Syaukani, Imam Taqiyuddin An-Nabhani
berkata,”Hadits-hadits tentang tas’ir menunjukkan keharaman tas’ir. Juga menunjukkan
bahwa tas’ir adalah suatu kezhaliman (madzlimah) yang dapat diajukan kepada
penguasa untuk dihilangkan. Maka jika justru penguasa melakukan tas’ir, dia
berdosa di hadapan Allah, karena dia telah melakukan perbuatan yang haram.”
Pendapat
kedua, berdalil antara lain dengan ayat QS An-Nisa` : 29 :
يا أيها
الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم
“Hai
orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka.” (QS An-Nisa` [4] : 29)
Wajhul
istidlal dari ayat ini ialah, bahwa ayat ini melarang memakan harta secara
batil. Jika ada pedagang yang menjual dagangan dengan harga yang melambung
tinggi yang merugikan masyarakat, maka itu termasuk memakan harta secara batil.
Maka hal itu harus dicegah oleh penguasa dengan cara melakukan tas’ir.
Dalil
lainnya, hadits Nabi SAW :
لا يبيع
حاضر لباد ، دعوا الناس يرزق الله بعضهم من بعض
“Janganlah
orang kota menjual kepada orang dusun, biarkanlah manusia, Allah akan memberi
rizki kepada mereka sebagian dari sebagian lainnya.”
Wajhul
istidlal dari hadits ini, bahwa Rasulullah melarang orang kota yang tahu harga
menjual barang dagangan kepada orang dusun yang tidak tahu harga. Karena hal
ini akan dapat melonjakkan harga. Maka tas’ir dibolehkan agar tidak terjadi
pelonjakan harga.
Imam
Ibnul Qayyim menjelaskan, tas’ir yang dibolehkan itu contohnya : penguasa
melarang para pedagang untuk menjual barang dengan harga yang lebih tinggi dari
harga pasar, sementara saat itu masyarakat sangat membutuhkan barang itu. Maka
dalam kondisi seperti ini penguasa mewajibkan pedagang menjual dengan harga
pasar, karena ini berarti mengharuskan keadilan. Padahal keadilan adalah hal
yang diperintahkan Allah.
Dalil
lain yang membahas tentang larangan tash’ir adalah sebagiai berikut:
ان الله هو السعر القا
بض البا سط الر ازق وإنى لأرجو أن القي الله وليس أحد منكم يطا لبني بمظلمة في دم
ولا ما ل
“Sesungguhnya Allah-lah Dzat yang menciptakan harga, Yang Maha Menyempitkan,
Maha Melapangkan, dan Maha Memberi rizki. Sesungguhnya aku berharap bertemu
Allahdalam keadaan tidak ada seorangpun diantara kamu sekalian yang menuntutku
mengenai kazaliman dalam hal darah dan.”
harta (HR. Abu Dawud)
Asbabul wurud:
Anas r.a meriwayatkan bahwa pada zaman Rasulullah SAW
di Madinah terjadi harga yang membumbung tinggi. Kemudian orang-orang berkata “
wahai Rasulullah SAW , harga begitu mahal, maka tetapkannlah harga bagi kami.
Lalu Rasulullah SAW bersabda, seperti hadis di atas.”
Kesimpulan hadis:Bahwa tas’ir adalah haram.
3. Bai’a an
Najasyi
عَنِ ابْنِ عُمَرَ :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ النَّجْشِ. وَ فِيْ لَفْظٍ
وَ لاَ تَنَاجَشُوْا. رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ
“Dari Ibnu ‘Umar r.a.: Bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli dengan
cara najasy”. Dan dalam lafazh yang lain dinyatakan: Janganlah kamu sekalian
melakukan jual-beli dengan cara najasy. (HR al-Bukhari)”
Pengertian Lafal
النَّجْشُ
|
:
|
An-Najasy – dalam pengertian etimologis – bermakna: al-Itsârah, yaitu
menggerakkan. Yang diambil dari kata: najasytu ash-shaida idzâ
atsartuhu (aku menghalau hewan buruan apabila aku
menggerakkan/mengejutkannya). Sedang dalam pengertian terminologis adalah:
(ketika) seseorang menambah harga pada suatu barang, namun ia tidak
membutuhkan barang tersebut dan tidak ingin membelinya; ia hanya ingin
harganya bertambah, dan akan menguntungkan pemilik barang.
|
Maksud Hadis
Rasulullah s.a.w. — pada prinsipnya – melarang bai’ an-najasy.
An-Najasy yang dimaksud dalam hadis ini ialah bentuk praktik jual-beli
sebagai berikut: seseorang yang telah ditugaskan menawar barang mendatangi
penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari yang
biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan tujuan memperdaya si
pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat untuk membelinya, namun tujuannya
semata-mata ingin memperdaya si pembeli dengan tawarannya tersebut. Ini
termasuk bentuk penipuan, dan oleh karenanya disebut sebagai praktik jual-beli
yang terlarang.
Penjelasan dan Istinbath Hukum
Haram hukumnya praktik najasy dalam jual beli. Dalam hal ini at-Tirmidzi
berkata dalam Sunannya, “Hadis inilah yang berlaku di kalangan ahli ilmu,
mereka memakruhkan praktik najasy dalam jual beli.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar
berkata dalam kitab Fathul Bâri (XII/336), “Makruh yang dimaksud adalah makruh
tahrim (mendekati haram).”
Bentuk praktik najasy adalah sebagai berikut, seseorang yang telah
ditugaskan menawar barang mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut
dengan harga yang lebih tinggi dari yang biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan
pembeli dengan tujuan memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat
untuk membelinya, namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli
dengan tawarannya tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan, (Sunan at-Tirmidzi
[III/597-598]).
Al-Baghawi berkata dalam kitab Syarhus Sunnah [VTII/120-121],
“Najasy adalah seorang laki-laki melihat ada barang yang hendak dijual. Lalu ia
datang menawar barang tersebut dengan tawaran yang tinggi sementara ia sendiri
tidak berniat membelinya, namun semata-mata bertujuan mendorong para pembeli
untuk membelinya dengan harga yang lebih tinggi.
At-Tanâjusy adalah seseorang
melakukan hal tersebut untuk temannya dengan balasan temannya itu melakukan hal
yang sama untuknya jika barangnya jadi terjual dengan harga tinggi. Pelakunya
dianggap sebagai orang durhaka karena perbuatannya itu, baik ia mengetahui
adanya larangan maupun tidak, sebab perbuatan tersebut termasuk penipuan dan penipuan
bukanlah akhlak orang Islam.”
Orang yang melakukan praktik najasy dianggap sebagai orang yang berdosa dan
durhaka. Ibnu Baththal telah menukil ijma’ ahli ilmu dalam masalah ini. (lihat Fathul
Bâri (IV/355). Dalilnya adalah hadis ‘Abdullah bin Abi Aufa r.a, ia
berkata, “Seorang menjajakan barang dagangannya sambil bersumpah dengan nama
Allah bahwa ia menjualnya di bawah modal yang telah ia keluarkan. Lalu turunlah
ayat, ‘Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan
sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit…’ (QS Ali ‘Imran, 3: 77)”
‘Abdullah bin Abi Aufa berkata, “Pelaku praktik najasy adalah pemakan riba
dan pengkhianat,” (HR al-Bukhari [2675]).
Jika si penjual bekerja sama dengan pelaku najasy dan memberikan kepadanya
persen bila barang laku terjual dengan harga tinggi, maka ia juga turut
mendapatkan bagian dalam dosa, penipuan, dan pengkhianatan. Keduanya berada
dalam Neraka.
Apabila praktik najasy ini dilakukan atas kerja sama antara oknum pelaku
dengan penjual atau atas rekayasa si penjual, maka jual beli tersebut tidak
halal.
Al-Baghawi berkata
dalam Syarhus Sunnah (VIII/121), “Para ulama sepakat bahwa bila seorang
mengakui praktik najasy yang dilakukannya lalu si pembeli jadi membelinya, maka
jual beli dianggap sah, tidak ada hak khiyar bagi si pembeli, jika oknum pelaku
najasy tadi melakukan aksinya tanpa perintah dari si penjual. Namun, bila ia
melakukannya atas perintah dari si penjual, maka sebagian ahli ilmu berpendapat
bahwa si pembeli memiliki hak khiyar.”
Bai'
Najasy
“Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Kalian jangan saling mendengki, jangan saling najasy,
jangan saling membenci, jangan saling membelakangi ! Janganlah sebagian kalian
membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi
hamba-hamba Allâh yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi
muslim yang lain, maka ia tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, dan
menghinakannya. Takwa itu disini –beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali-.
Cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim.
Setiap orang Muslim, haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas muslim
lainnya (HR Muslim).”Radhiyallahu ‘anhuma, diriwayatkan bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang najas(HR Bukhari). Ibnu Abi Aufa
rahimahullah mengatakan, “Nâjisy (pelaku najasy) adalah pemakan harta riba dan
pengkhianat.” (HR Bukhari) Najasy ditafsirkan oleh banyak Ulama dengan najasy
dalam jual beli. Yaitu menaikkan harga suatu barang yang dilakukan oleh orang
yang tidak berminat membelinya untuk kepentingan penjual supaya untungnya lebih
besar atau untuk merugikan pembeli. Termasuk praktek najasy yaitu memuji barang
dagangan seorang penjual supaya laku atau menawarnya dengan harga yang tinggi
padahal dia tidak berminat. Apa yang dilakukannya hanya untuk mengecoh pembeli
sehingga tidak merasa kemahalan kalau jadi beli. Artinya didalam Bai' najasy
ada terkandung unsur penipuan, dan pembeli tidak mendapatkan informasi yang
tepat karena termanipulasi.
عن ابن عمر عن النبي صلئ الله عليه و سلم قل
لا يبع بعضكم علئ بيع بعض ...
عن النبي صلئ الله عليه و سلمىا نه قا ل لا
يسو م الر جل علئ سو م أ خيه
“Dari Ibnu ‘Umar Rasulullah Saw. bersabda:
Janganlah sebagian kamu menjual atas penjualan yang lain..., dalam hadis lain
Rasulullah Saw. bersabda: Janganlah seseorang menawar atas tawaran yang
lainnya”
عن ابي عمر ر ضي الله عنهما قال نهئ النبي صلئ الله عليه و سلم عن النجش
“Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah Saw. melarang
al-Najsy atau upaya menaikkan harga penawaran barang bukan dengan maksud
membeli.”
C.
Asbab an Nuzul ayat-ayat yang berhubungan dengan Tash’ir, Ikhtikar
dan Bai’a An Najasyi.
1.
Asbabun An-Nuzul QS. Al-Baqarah:278 dan 279 (Ikhtikar)
Dalam
suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat tersebut berkenaan dengan
pengaduan Bani Mughirah kepada Gubernur Makkah setelah Fathu Makkah, yaitu
‘Attab bin As-Yad tentang hutang-hutangnya yang beriba’ ebelum ada hukum
penghapusan riba, kepaeda Banu ‘Amr bin ‘Auf dari suku Tsaqif. Bani Mughirah
berkata kepada Attab bin As-yad: “kami adalah manusia yang paling menderita
akibat dihapuskannya riba. Kami ditagih membayar riba oleh orang lain, sedang
kami tidak mau menerima riba karena mentaati hukum penghapusan riba”. Maka Banu
Amr: “kami minta penyelesaian atas tagihan riba kami”. Maka Gubernur ‘Attab
menulis surat kepada Rasulullah SAW. yang dijawab oleh Nabi SAW dengan ayat di
atas.
(diriwayatkan oleh Abu Ya’la didalam musnadnya dan Ibnu Mandah dari
Al-Kalbi dari Abi Shaleh, yang bersumber dari Ibnu Abbas.)[4]
2.
Asbab An-Nuzul QS. Al-Imran:77 (tash’ir)
Dalam suatu riwayat dikemukakan
bahwa Al-Asy’Ats mengadu kepada Rasulullah SAW karena tanah miliknya direbut
oleh seorang Yahudi. Nabi bersabda kepada Al-Asy’Ats : “apakah kau mempunyai
bikti?” jawab Al-Asy-Ats : “tidak”. Bersabdalah Nabi SAW kepada Yahudi:
“bersumpahlah kau!”, Al-Asy’Ats berkata: “kalau begitu, dia berani bersumpa,
dan akan hilang hartaku”. Maka Allah menurunkan ayat tersebut (QS. Al-Imran:77)
sebagai peringatan kepada orang yang mau bersumpah palsu.
(diriwayatkan oleh As-Syaikhani dan yang lainnya yang bersumber
dari Al-Asy’Ats.
Dalam riwayat lain
dikemukakan bahwa ada seorang yang berdagang di pasar, menjual barang
dagangannya, kemudian bersumpah atas nama Allah bahwa barang dagangannya telah
diserahkan padahal ia belum memberikannya. Perbiatan itu dilakukan kepada
orang-orang islam. Maka turunlah ayat di atas sebagai peringatan kepada orang
yang mau bersumpah palsu. [5]
BAB III
PENUTUPAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
diskusi yang telah kami lakukan, kami dapat menarik sebuah kesimpulan
bahwasannya kegiatan Ikhtikar, Tash’ir, dan Bai’a An Najasyi dilarang oleh
agama Islam, karena banyak sekali hukum yang mengatur dan melarang kegiatan tersebut.
Berdasarkan sabda Nabi SAW:
مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئ
Barangsiapa menimbun
maka dia telah berbuat dosa. (HR. Muslim 1605)
Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga
kriteria:
a) Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk
masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang
dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
b) Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan
kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya
dengan harga mahal.
c)
Yang ditimbun
(dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan
lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetapi
tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka
itu tidak termasuk menimbun.
Kamipun mendasarkan
pendapat kami, pada sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan hadist sehingga
kami dapat mengetahui dalil dan landasan
hukum mengapa kegiatan Ikhtikar,
Tash’ir, dan Bai’a An Najasyi dilarang. Karena kegiatan-kegiatan tersebut
merugikan orang lain dan hukumnya adalah haram. Selain itu, tindakan tersebut
melanggar dalam etika bisnis dalam islam yang telah di ajarkan Rasulullah Saw.
Dalam berbisnis (kegiatan ekonomi) seharusnya menjalankan prinsip-prinsip etika
bisnis dalam islam. Seperti, tauhid, keadilan, kejujuran. Dengan begitu tidak ada orang yang dirugikan.
DAFTAR PUSTAKA
At-Thobarony, Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abu Al-Qosim, Al-Mu’jam
Al-kabir Juz 15
Enizar, 2013, Hadis Ekonomi, Jakarta, Raja Wali Pers.
Mardani, 2012, Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, Jakarta,
Raja Wali Pers
Nurcholis, 1997, Asbabun Nuzul, Surabaya, Pustaka Anda.
[1] Sulaiman bin
Ahmad bin Ayyub Abu Al-Qosim At-Thobarony, Al-Mu’jam Al-kabir Juz 15,
hlm. 5
[2] Mardani, Ayat-Ayat
dan Hadis Ekonomi Syariah, (Jakarta: Raja Wali Pers, 2012), hal. 198-199.
[3] Enizar, Hadis
Ekonomi, (Jakarta: Raja Wali Pers, 2013), hal. 131-133.
[4] Nurcholis, Asbabun
Nuzul, (Surabaya: Pustaka Anda, 1997), hal.88
[5] Ibid...,
hal. 100-101.
0 comments:
Post a Comment